Selasa, 22 Februari 2011

Hunter X Hunter - Ohayou Cover



 
I record this video at midnight,so sorry because so many mistake in this video. and hope you enjoy it :)

Senin, 14 Februari 2011

Pelita V



BAB I
PENDAHULUAN

Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya
yang ditempuh pemerintah orde baru adalah melaksanakan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui
Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pambangunan Jangka
Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi
pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun.
Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan
yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan
nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yanmg tertulis dalam
pembukaan UUD 1945; yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia,
meningkatkan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut
melksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan-perdamaian abadi-serta
keadilan sosial.
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru
berpedoman padaTrilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua
pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana
politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah :
a. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat.
b. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
c. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah :
a. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan,sandang dan
perumahan.
b. Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan

c. Pemerataan pembagian pendapatan.
d. Pemerataan kesempatan kerja
e. Pemerataan kesempatan berusaha
f. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi
muda dan kaum wanita.
g. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
h. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

BAB II
ISI

Seperti telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui
Pembangunan Jangka Pendek dan P embangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka
Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde
Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita.
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pe mbangunan
ditekankan pada pembangunan ekonomi dengan titik berat di sektor pertanian untuk
memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian dan sektor
industri untuk ekspor, penyerapan tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertania n, serta
menghasilkan mesin-mesin industri.
Dengan tetap berlandaskan pada Trilogi pembangunan. Pada pelita V ini penekanan
kebijakan diarahkan pada  Pemerataan , dengan prioritas  Sektor industri yang didukung
oleh sektor pertanian
Kendala - kendala yang dihadapi:
Munculnya blok-blok Perdagangan Dunia ( ADTA, NAFTA, APEC, dsb )
Persaingan bisnis makin kompetitif
High Cost
Kualitas SDM makin rendah
Utang luar negeri makin meningkat

Upaya yang dilakukan pemerintah antar lain:
Melakukan diversifikasi produk ekspor ( khususnya nin migas )
Melakukan deregulasi, antar lain : tentang pengaturan Investasi Asing

BAB III
KESIMPULAN

Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu
dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang
di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu
pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila
Pada Pelita V Perekonomian Indonesia membaik dengan pertumbuhan 6,7% pertahun.
Selama PJP I : pertumbuhan ekonomi sebesar 6,7% pertahun, pendapatan perkapita naik
dari US$70 (1969) jadi US$770 (1993), penduduk miskin turun dari 70 juta orang (60%) jadi
25,9 juta orang (13,7%)
Aspek Ekonomi berhasil mencapai stabilitas nasional, yang dicapai melalui:
1. Pengelolaan makro ekonomi yang berhati-hati
2. Partisipasi masyarakat meningkat
3. Anggaran berimbang dan dinamis
4. Penerapan devisa bebas
5. Terpeliharanya stabilitas nasional (Ekonomi dan politik).
Struktur ekonomi mulai berimbang, baik dari aspek produksi, penerimaan pemerintah,
maupun penerimaan ekspor/devisa. Sektor moneter berkembang pesat: jumlah bank
meningkat dari 111 (1988) menjadi 239 (1994), peranan bank swasta meningkat, lembaga
keuangan nonbank tumbuh pesat ternasuk pasar modal.

Indonesia 1990-1995

Bangsa Indonesia telah melewati 25 tahun pertama Pembangunan Jangka Panjang I (PJPT I) yang dicanangkan sejak 1 April 1969, dengan dua tujuan kembar: meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat; serta meletakkan landasan yang kuat untuk pembangunan tahap berikutnya. Sejak 1 April 1994, Indonesia memasuki PJPT II (tahap tinggal landas), yang bertujuan menciptakan masyarakat yang maju, sejahtera, dan mandiri dalam suasana kehidupan yang serba seimbang.



Politik Dalam Negeri

Pada periode 1990—1995, Indonesia mengalami berbagai peristiwa politik yang penting. Dalam periode ini Indonesia melaksanakan pemilu kelima. Dalam periode ini juga Indonesia merayakan ulang tahun ke-50 proklamasi RI. Ada beberapa pihak yang menilai bahwa dalam periode tersebut pemerintah menunjukkan tanda-tanda keterbukaan, demokratisasi, dan peningkatan pelaksanaan hak-hak asasi manusia.


Meletusnya Peristiwa Dili.

Tanggal 12 November 1991 terjadi peristiwa berdarah di Dili, Timor Timur. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Dili. Dalam kejadian itu, puluhan demonstran yang menentang integrasi Timor Timur ke wilayah Republik Indonesia tewas ketika bentrok dengan petugas keamanan setempat.


Pemilu dan Pemerintahan Baru.

Pada tanggal 9 Jani 1992, bangsa Indonesia melangsungkan pemilu yang kelima dalam sejarah politik Orde Baru, atau keenam jika dihitung sejak pemilu 1955, untuk memilih anggota-anggota DPR dan DPRD. Seperti tiga pemilu terdahulu, Pemilu 1992 diikuti oleh tigo kontestan, yakni Partal Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya Golkar, dan Partai Demokrasi indonesia (PDI), memperebutkan 400 kursi di DPR RI.


Suksesi

Pada akhir 1993 ramai dibicarakan masalah suksesi (pergantian pimpinan tertinggi negara). Hal ini terjadi sesudah Amien Rais, tokoh Muhammadiyah dari ICMI, melemparkan sejumlah kriteria calon presiden. Pada bulan Februari 1994 ia membahas lagi masalah suksesi ini dalam sebuah seminar di Universitas Brawijava Malang, Jawa Timur Menurut Amien Rais, kepemimpinan nasional harus diganti, karena pemimpin yang sekarang sudah tua. Menurutnya, selama ini ada anggapan yang salah, yakni suksesi adalah hak penuh MPR dan orang tak boleh bicara tentang suksesi sampai terbentuknya MPR pada tahun 1998.


Organisasi Sosial-Politik.

Bagi PDI, periode 1990—1995 ,masih ditandai kemelut intern yang berlarut-larut. Pada bulan Juli 1993

PDI melangsungkan Kongres di Medan, Sumatra Utara. Soerjadi, pimpinan PDI sejak 1986, sempat terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum PDI periode 1993—1998. Namun kongres ini dan segala keputusannva kemudian dibatalkaa pemerintah karena pelaksanaannya diwarnai berbagai kericuhan di dalam maupun di luar sidang.


Lahirnya beberapa ormas baru.

Bulan Desember 1990 dunia kecendekiawanan Indonesia disemarakkan oleh kelahinan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) di Malang, Jawa Timur. Dalam pembentukan ICMI itu, Menristek B.J. Habibie terpilih secara akiamasi sebagai ketua umum.

Sejak berdiri, ICMI terus melakukan pelbagai kegiatan ilmiah maupun kemasarakatan, misalnya dengan ikut menangani masalah Waduk *Kedungombo" dan membentuk lembaga pengkajian. Para tokoh ICMI mempelopori pembentukan Bank Muamalat Indonesia (Bank Islam), bank pertama di Indonesia yang beroperasi tanpa menggunakan sistem bunga. Melalui PT Abdi Bangsa yang didirikannya pada 1992, ICMI menerbitkan surat kabar Republika sejak 4 Januani 1993.


Petisi 50 dan Pemerintah

Setelah gagal bentemu dengan pimpinan DPR/MPR pada tanggal 25 Februari 1993, bebenapa tokoh *Petisi 50, dipimpin Ali Sadikin, secara mengejutkan diundang ke PT PAL Surabaya oleh B.J. Habibie pada tanggal 3 Juni 1993. Tanggai 8 Juli 1993, masih bersama Habibie, kelompok Petisi 50 mengunjungi IPTN di Bandung. Dua tahun sebelumnya, tanggal 21 Mei 1991, Petisi 5O sempat diterima berdialog oleh Menko Polkam Sudomo.



Pembentukan Komnas HAM.
Untuk meningkatkan perlindungan hak asasi manusia, pada bulan Juni 1993, pemerintah membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ,melalui Keppres No. 50/1993. Ali Said, mantan ketua Mahkarnah Agung, dipencaya menjadi ketua Komnas HAM, didampingi Baharuddin Lopa sebagai sekjen. Anggota Komnas HAM terdiri dari 25 orang, yang diambil dari pelbagai kalangan, di antaranya Brigjen (purn) Roekmini (mantan anggota DPR yang terkenal kritis), Aisjah Amini SH (ketua Komisi I DPR dan ketua DPP PPP), dan Prof Dr. Soetandyo Wignyo (Sosiolog), Ismail Suny (tokoh ICMI), Todung Mulya Lubis (pakar hukum, aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), dan Marzuki Darusman (mantan anggota Fraksi Karya Pembangunan DPR RI).


Indonesia Emas, Pada tahun 1995 indonesia merayakan ulang tahun ke—50 proklamasi kemerdekaannya. Perayaan kali ini dirasakan sebagai perayaan ulang tahun proklamasi RI terbesar dan melibatkan masyarakat secara luas. Berbagai kegiatan dilakukan dalam rangka memperingati peristiwa bersejarah tersebut.


Kerja Sama Internasional

Pada periode 1990—I995 peran Indonesia di tingkat internasional dinilai semakin menonjol. Hal itu terutama berkaitan dengan peran Presiden Soehato sebagai ketua GNB.


Indonesia di GNB.

Tanggal 1—6 September 1992 Indonesia menggelar perhelatan akbar, yakni Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Gerakan NonBlok (GMB) ke-1O. Sebagai tuan rumah, Indonesia secara otomatis terpilih menjadi ketua GMB periode 1992—1995. KTT ini diikuti delegasi dari 105 negara anggota GNB. Sekjen PBB, Boutros Boutros-Ghali, dan pemimpin PLO Yasser Arafat juga hadir sebagai peninjau.


Indonesia di APEC.

Tahun 1993 ditandai oleh semakin aktifnya Indonesia dalam forum kerja sama ekonomi internasional, di antaranya APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation),forum kerja sama ekonomi diantara 15 negara Asia


Pasifik.

Tanggal 20—21 November 1993 Presiden Soeharto menghadiri KTT APEC di Seattle, AS.


Indonesia di ASEAN

Pada tanggal 27—28 Januari 1992 berlangsnng KTT ASEAN di Singapnra. Meelalui konferensi ini disepakati dua naskah pokok perjanjian kerja sama ekonomi sebagai prinsip dasar bagi pengembangan kerja sama ekonomi negara-negara ASEAN. Kedua naskah pokok yang dihasilkan itu adalah Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation dan Basic Agreement on Common Effective Preferential Tariff (CEPT) toward ASEAN Free Trade Area (AFTA). Pelaksanaan CEPT dibagi ke dalam dua periode, dalam jangka waktu 15 tahun.


Indonesia dan G-15

Bulan November 1992 Presiden Soeharto melawat ke Dakar, Senegal, untuk menghadiri KTT G-15. Di situ, Indonesia menawarkan bantuan kepada negara-negara berkembang lainnya untuk mengatasi masalah kependudukan dan pengelolaan utang luarnegeri.


Kunjungan Presiden

Indonesia dan Cina menormalisasi hubungan kedua negara pada tahun 1990 setelah membeku selama 23 tahun akibat peristiwa G3OS/ PKI Memorandum of Understanding untuk menormaliosasi itu ditandatangani tanggal 8 Agustus 1990 oleh Presiden Soeharto dan PM Li Peng. Dalam rangka hubungun dagang antara kedua negara, Presiden kemudian berkunjung ke Cina pada tanggal 14 November 1990. Lawatan ke Cina itu merupakan bagian dari rangkaian kunjungun ke tiga negara. Sebelumnya Presiden berkunjung ke Jepang, dan dari Cina ke Vietnam.


Pembucaran IGGI dan Kelahiran CGI.

Setelah berdiri dan membantu pembiyayaan pembangunan Indanesia selama 24 tahun, IGGI (Inter Govemmental Group for Indonesia) akhirnva bubar pada tahun 1992. Lembaga yang dipimpin oleh Belanda ini bubar karena Indonesia menolak bantuan, terhitung sejak 22 Maret 1992, dengan alasan Belanda mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.


BUMN.

Sampai tahun 1993 total omzet BUMN mencapai sekitar Rp 72 trilyun. Dan segi aktivitas ekonoini. BUMN beroperasi hampir di segala sektor perekonamian. Ke-184 BUMN yang ada dapat dikategorikan ke dalam 31 bidang usaha, antara lain: pertanian, pertambangan, perdagangan, perbankan, telekomunikasi, listrik, jasa, dan konstruksi. Beberapa diantaranya bergerak dalam industri strategis atau industri hulu


Utang Luar Negeri.

Menunut laporan Bank Dunia, sampai akhir tahun 1993 total utang luar negeri Indonesia berjumlah US$93 miliar atau sekitar Rp 186 triliun. Bahkan pada akhir Desember 1995 jumlah utang luar negeri Indonesia telah mencapai US$ 101 miliar atau sekitar Rp 202 triliun, ,melewati ambang batas psikologis, yakni (US$ 100 miliar). Namun demikian, Indonesia dinilai sebagai peminjam yang baik, sebab selalu memenuhi kewajibannya dalam pengembalian utang, sehingga terus mendapat kepencayaan dari negara-negara donor. Kendati utang Indonesia termasuk tiga besar di antara negara-negara berkeimbang, perbandingan kewajiban membayar utangnya terhadap ekspor (debt service ratio) masih sekitar 30%, sehingga dinilai belum diperlukan kebijakan penjadwalan kembali (rescheduling).


Swastanisasi.

Dalam kurun waktu 1990—1995 pemerintah mengambil berbagai langkah yang berkairan dengan swastanisasi, yaitu pengalihan kepemilikan badan usaha milik negara (BUMN) kepada yang nonpemerintah atau pengikutsertaan perusahaan non - pemerinrah dalam pengoperasian BUMN.


Migas dan Non-migas.

Harga minyak di pasaran internasional mulai januari 1990 sampai Desemnber 1992 berfluktuasi dari angka USS 19,24 per barel sampai US$ 29,01 per tahun, kemudian mengalami penurunan sampai (US$ 18,70 per barl). Mengenai harga pasaran minyak Indonesia sendiri, untuk kategori lanai (spot), sampai baan A pastas 1992 jenis Minas berada pada angka US$ 20,76 per hare!, sedangjenis Dan rata-rala US$ 18,11 per bard. Namun, memasuki tahun 1993 harga minyak kembali terbanting
hawaii US$16. Awal Maret 1994 harga minvak Minus tercatat US$ 14,52 per barel, akan sara seten gab dolar dengan harga patokan APBN 1994/1995.


Deregulasi.

Untuk meningkatkan daya saing komoditas Indonesia di pasaran internasional,merangsang investasi asing, dan menggairahkan perekonomian secara keseluruhan, pemerintah melanjutkan kebijakan deregulasi yang dijalankan sejak tahun 1983. Melalui Paket Januari 1990, pemerintah mengharuskan perbankan untuk menyalurkan Kredit Usaha Kecil sebanvak 20% dari total pinjamannya kepada pengusaha kecil. Dengan Paket Mei 1990 para pengekspor diperbolehkan melangkahi sistem lisensi impor dan tarif impor atau, jika tak bisa menghindari sistem itu, bisa meminta kembali bea masuk. Di dalamnya juga tercakup penyederhanaan prosedur lisensi bidang perdagangan, manufaktur kesehatan, dan agrobisnis.


Penanaman Modal Asing (PMA).

Serangkaian kebijakan deregulasi ang dilancarkan pemerintah sejak 1983 tampaknya cukup berhasil merangsang penanaman modal asing (Penanaman *Modal) di Indonesia, kendati harus bersaing ketat dengan negara-negara lain seperti Thailand, Vietnam, dan Cina. Jika pada tahun 1989 jumnlah investasi asing yang disetujui pemerintah baru mnencapai US$ 4,72 miliar, tahun benikutnya naik mnenjadi US$ 8,75 miliar, dan tahun 1992 mencapai US$ 10,32 mi/ia,: Dengan pembukaan pintu yang kian lebar hagi pemodal asing melalui PP 20/1994,jumlah investorasing yang berniat menanamnkan mnodalnya di Indonesia diperkirakan akan lebih ban yak lagi dalam tahun-tahun
berikut.


Kredit Macet Perbankan

Dalam beberapa tahun rerakhirperbankan Indonesia n1engalamni banyak *kredit macct. Pada bulan Oktober 1993 terungkap bahwa kredit macct di seluruh bank Indonesia mnencapai Rp 6 triliun, yang terdiri dari Rp 3,73 triliun di bank pemerintah dan 2,34 rniliun di bank swasta. Ju,nlah kredit macct itu berarti sekitar 4,2% dan seluruh kredit yang dicairkan per Oktober 1993, yakni Rp 142,8 triliun. Jika dihitung den gan kredit yang kurang lancar.

Minggu, 13 Februari 2011

Don't worry if you're single guys!

Tomorrow is valentine day. are you people who celebrate it or not? for me valentine day it just like an ordinary day. why? because i celebrate it everyday. you dont need a boyfriend or girlfriend to celebrate it. because you can show your love to everyone !

single it doesnt mean theres no one like you

i believe god is looking at you right now and saying "im saving this girl/boy for someone special like you" :)


Kebijakan Fiskal


Arti dan Tujuan Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, kebijakan fiscal adalah kebjakan pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan atau pengeluaran Negara.
Dari semua unsur APBN hanya pembelanjaan Negara atau pengeluaran dan Negara dan pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan fiscal. Contoh kebijakan fiscal adalah apabila perekonomian nasional mengalami inflasi,pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran.
Tujuan kebijakan fiscal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerntah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatn nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N).
Selangkah demi selangkah kita mulai keluar dari krisis yang berawal lebih dari 6 tahun yang lalu. Peringatan Tahun Baru 2004 ini ditandai dengan berakhirnya program ekonomi kita dengan IMF Pada bulan Februari nanti BPPN, salah satu institusi penting dalam menangani krisis, akan mengakhiri tugasnya. Sementara itu, dalam 2 tahun terakhir ini hampir semua indikator ekonomi makro Indonesia terus menunjukkan perbaikan yang mantap. Semua ini menunjukkan bahwa secara simbolis dan secara substantif krisis telah berlalu. Tetapi ini tidak berarti bahwa pekerjaan telah selesai. Ekonomi kita belum sepenuhnya pulih – kegiatan di sejumlah sektor masih di bawah kapasitas, pertumbuhan ekonomi belum cukup untuk menyerap pengangguran dan ekonomi kita masih rentan terhadap shocks. Pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan masih banyak. Pada tahap yang krusial dari perjalanan kita ini ada baiknya kita melakukan refleksi sejenak sebelum melangkah lebih lanjut. Mari kita menoleh ke belakang untuk mengingat kembali situasi yang kita hadapi beberapa waktu lalu, mencatat apa-apa yang kita lakukan untuk mengatasi keadaan itu dan selanjutnya menginventarisasi apa-apa yang masih perlu kita selesaikan dalam waktu dekat ini. Sesuai dengan tema buku ini, kita akan memfokuskan evaluasi perjalanan kita di bidang kebijakan fiskal. Keuangan Negara dan KrisisBeban Utang Meningkat. Ketika krisis mulai melanda Indonesia pada pertengahan 1997 kondisi keuangan negara kita sebenarnya tidak terlalu buruk. Pada tahun 1996 APBN (menurut cara pembukuan GFS yang sejak 2000 kita pakai) surplus sebesar 1,9% dari PDB, hutang Pemerintah dengan luar negeri adalah USD 55,3 milyar atau sekitar 24% dari PDB sedangkan hutang dalam negeri tidak ada. Realisasi APBN 1997 sampai dengan Semester I juga baik. Surplus anggaran setengah tahun itu mencapai 1,8% dari PDB dan hutang pemerintah tidak banyak berubah.Krisis mengubah itu semua. Defisit anggaran serta merta membengkak dan hutang Pemerintah meningkat tajam. Pada tahun 1998, tahun yang paling kelabu dalam krisis, Indonesia mengalami kombinasi dua penyakit ekonomi yang paling fatal: sektor riil yang macet dan hiperinflasi. Tahun itu PDB kita anjlok dengan sekitar 13%, inflasi mencapai sekiktar 78% dengan harga makanan meningkat lebih dari dua kali lipat, kurs melonjak-lonjak tak menentu dan serta merta anggaran negara berubah dari surplus menjadi defisit 1,7% dari PDB. Pada tahun 2000, sewaktu proses rekapitalisasi perbankan rampung, utang Pemerintah mencapai Rp 1.226,1 triliun (setara USD 60,8 miliar pada waktu itu) atau sekitar 96 % dari PDB. Melonjaknya beban utang ini hampir seluruhnya karena timbulnya utang dalam negeri dalam jumlah yang besar sebagai akibat dari upaya kita untuk menyelamatkan sektor perbankan yang berantakan dilanda krisis. Jumlah utang dalam negeri sebesar Rp 643 triliun itu merupakan akumulasi dari biaya yang timbul dari tiga kebijakan pokok untuk menopang perbankan nasional selama krisis. Ketiga kebijakan tersebut dilaksanakan secara hampir berurutan sejalan dengan tahap perkembangan krisis. Kebijakan BLBI. Kebijakan yang pertama adalah untuk mengatasi situasi darurat berupa kelangkaan likuiditas yang akut sebagai akibat dari arus dana keluar yang tidak terbendung dan makin membesar dari sistem perekonomian kita. Kelangkaan likuiditas ini diawali oleh timbulnya gonjang-ganjing di pasar devisa mulai pertengahan 1997 yang dipicu oleh krisis di Thailand. Pembelian dolar terjadi secara besar-besaran - dana rupiah nasabah bank ditarik untuk ditukarkan dolar. Bank-bank kehabisan rupiah. Proses penyedotan likuiditas ini makin diperparah oleh rentetan peristiwa yang terjadi setelah itu. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional runtuh terutama setelah penutupan 16 bank pada bulan November 1997. Uang lari dari bank nasional ke bank asing atau ke luar negeri. Kemudian mulai awal 1998 terjadi kenaikan harga yang luar biasa - hiperinflasi - yang diwarnai oleh gejala umum orang enggan memegang uang (rupiah) dan uang lari mengejar barang. Kegiatan ekonomi macet, PHK terjadi di mana-mana, kehidupan makin berat dan selanjutnya kerusuhan sosial meledak di berbagai daerah. Kali ini bukan hanya uang, tapi juga orang, lari ke luar negeri. Ini semua menimbulkan tekanan yang luar biasa terhadap perbankan nasional yang dapat dipastikan akan ambruk total apabila tidak ada dukungan likuiditas. Bank tidak dapat meminjam dari bank lain karena ia juga sama-sama kesulitan likuiditas. Pinjam dari luar negeri (seperti sebelum krisis) tidak mungkin karena kran-nya tertutup rapat. Satu-satunya sumber likuiditas yang ada dalam keadaan seperti itu adalah Bank Indonesia sebagai lender of last resort, suatu fungsi yang lazimnya ada pada setiap bank sentral untuk menghadapi keadaan darurat. Dukungan likuiditas dalam keadaan darurat ini dikenal sebagai Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kebijakan Penjaminan Bank. Kebijakan pokok yang kedua mulai dilaksanakan sekitar bulan Maret 1998, yaitu kebijakan penjaminan bank. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengatasi situasi perbankan kita yang sudah benar-benar kehilangan kepercayaan dari para nasabahnya. Banyak dari mereka menarik simpanannya di bank untuk dibelikan dolar atau barang (untuk menghindari kerugian karena kurs dolar dan harga-harga yang terus meningkat) atau dipindahkan ke bank asing (yang kemungkinan kecil ditutup) atau dibawa ke Singapura, Hong Kong atau tempat lain yang aman. Dalam keadaan seperti ini tidak ada bank yang “sehat” - bank yang dalam situasi normal sehat akan rontok juga. Menghadapi keadaan seperti itu Pemerintah pada waktu itu berkesimpulan bahwa satu-satunya jalan untuk menghentikan keruntuhan sektor perbankan adalah dengan memberikan jaminan penuh kepada nasabah dan kepada mereka yang bertransaksi dengan bank. Pemerintah menjamin bahwa uang mereka yang ada di bank aman apapun yang mungkin terjadi dengan bank itu. Dengan kebijakan penjaminan umum ini secara bertahap orang mulai berani lagi menyimpan uangnya di bank. Manfaat kebijakan ini juga terbukti pada waktu dilakukan serangkaian gelombang penutupan bank secara besar-besaran selama tahun 1998-99. Tidak seperti pada waktu penutupan 16 bank sebelumnya, kali ini tidak terjadi rush, masyarakat tidak menyerbu bank karena mereka tahu uang bahwa mereka tetap aman meskipun banknya ditutup. Kebijakan penjaminan bank ini merupakan sumber kedua dari timbulnya utang dalam negeri Pemerintah sebagai akibat krisis. Kebijakan Rekapitalisasi Bank. Sumber ketiga, dan yang terbesar, dari timbulnya utang dalam negeri adalah kebijakan rekapitalisasi perbankan. Setelah kita melewati masa kritis kesulitan likuiditas perbankan, dan setelah proses erosi kepercayaan terhadap bank dapat dihentikan, langkah selanjutnya adalah bagaimana membuat agar bank-bank yang tersisa setelah gelombang proses penutupan pada tahun 1998-99 dapat beroperasi secara normal. Banyak dari bank-bank yang dapat bertahan hidup setelah terlanda badai krisis masih setengah sakit dan belum dapat beroperasi sebagai layaknya bank yang sehat. Mereka dibebani kredit macet yang sangat besar dan modal yang terkuras. Bank-bank yang memiliki modal yang memadai dan relatif baik posisinya langsung diawasi oleh Bank Indonesia, sedangkan bank-bank yang neracanya sarat dengan kredit macet dan tidak mempunyai modal yang memadai harus melewati proses penyehatan khusus oleh BPPN, termasuk pembersihan neracanya dari kredit macet dan penambahan modal atau rekapitalisasi. Pulihnya kembali fungsi perbankan pada waktu itu dipandang sebagai prasyarat penting bagi pemulihan ekonomi dan oleh sebab itu proses penyehatan melalui program rekapitalisasi perbankan tidak boleh ditunda-tunda. Untuk mempercepat proses itu Pemerintah bertindak proaktif, termasuk menyediakan sebagian dari kebutuhan dana rekapitalisasi. Bank-bank diwajibkan memenuhi rasio kecukupan modal minimal (4% pada akhir tahun 1998) dan apabila ada kekurangan maka pemilik lama diminta menyetor paling tidak seperlimanya dan sisanya ditutup oleh Pemerintah dalam bentuk obligasi Pemerintah yang ditempatkan pada bank-bank tersebut. Kebijakan ini, yang memang sangat diperlukan agar perbankan nasional sesegera mungkin dapat berfungsi kembali untuk mendukung pemulihan ekonomi, telah meciptakan utang Pemerintah dalam jumlah yang sangat besar. Ternyata kekurangan modal yang terbesar adalah dari bank-bank milik Pemerintah sendiri! Dan seluruhnya harus disediakan oleh Pemerintah. Kebijakan Divestasi. Sebelum menutup pembahasan kita mengenai kebijakan rekapitalisasi perbankan ini perlu kita catat permasalahan penting yang timbul karena kebijakan tersebut yang perlu penanganan khusus. Kebijakan rekapitalisasi perbankan mempunyai dampak sampingan yaitu menyebabkan kepemilikan Pemerintah di seluruh sektor perbankan pada suatu saat pernah mencapai 95%. Jadi, dalam rangka “menormalisasi” sektor perbankan, telah terjadi penumpukan kepemilikan di tangan negara atau “nasionalisasi” perbankan. Ini jelas bukan situasi yang “normal” dan bukan pula situasi yang sehat. Dalam sistem ekonomi yang mengandalkan pada prakarsa dan kekuatan masyarakat dan dunia usaha Pemerintah seyogyanya membatasi kepemilikannya atas aset-aset produktif. Pengelolaannya sebaiknya diserahkan kepada masyarakat dan dunia usaha dan tugas pokok Pemerintah adalah merumuskan aturan-aturan main bagi mereka dan mengawasi agar aturan-aturan main itu dipatuhi sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Khusus untuk perbankan ada satu hal lagi yang harus masuk dalam pertimbangan, yaitu faktor risiko. Bank adalah suatu usaha yang penuh risiko yang lebih cocok bagi usaha swasta. Pengelolaan yang kurang baik, pengawasan yang kurang cermat, kelalaian dan keteledoran dapat menimbulkan kerugian besar dalam waktu sekejap. Karena risiko itu melekat pada kepemilikan, maka cara yang paling mudah untuk meminimumkan risiko tersebut adalah dengan menjual saham Pemerintah. Kebijakan divestasi ini harus merupakan bagian integral dari strategi penataan sektor perbankan nasional dan pelaksanaannya tidak boleh ditunda-tunda. Kasus pembobolan bank biasanya terjadi pada bank-bank milik Pemerintah seperti yang banyak terjadi di masa lampau dan juga baru-baru ini. Kerentanan bank-bank milik Pemerintah terhadap pembobolan dan penyalahgunaan menggarisbawahi urgensi dari kebijakan divestasi ini! Demikianlah, krisis telah minimbulkan beban utang dalam negeri yang besar dengan konsekuensi yang berat keuangan negara. Dari jumlah total hutang dalam negeri sebesar Rp 643 triliun tersebut yang terbesar (sekitar 2/3 nya) timbul karena kebijakan rekapitalisasi bank, sekitar seperempatnya berasal dari kebijakan BLBI dan sisanya dari kebijakan penjaminan bank