Minggu, 13 Februari 2011

Kebijakan Fiskal


Arti dan Tujuan Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, kebijakan fiscal adalah kebjakan pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan atau pengeluaran Negara.
Dari semua unsur APBN hanya pembelanjaan Negara atau pengeluaran dan Negara dan pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan fiscal. Contoh kebijakan fiscal adalah apabila perekonomian nasional mengalami inflasi,pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran.
Tujuan kebijakan fiscal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerntah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatn nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N).
Selangkah demi selangkah kita mulai keluar dari krisis yang berawal lebih dari 6 tahun yang lalu. Peringatan Tahun Baru 2004 ini ditandai dengan berakhirnya program ekonomi kita dengan IMF Pada bulan Februari nanti BPPN, salah satu institusi penting dalam menangani krisis, akan mengakhiri tugasnya. Sementara itu, dalam 2 tahun terakhir ini hampir semua indikator ekonomi makro Indonesia terus menunjukkan perbaikan yang mantap. Semua ini menunjukkan bahwa secara simbolis dan secara substantif krisis telah berlalu. Tetapi ini tidak berarti bahwa pekerjaan telah selesai. Ekonomi kita belum sepenuhnya pulih – kegiatan di sejumlah sektor masih di bawah kapasitas, pertumbuhan ekonomi belum cukup untuk menyerap pengangguran dan ekonomi kita masih rentan terhadap shocks. Pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan masih banyak. Pada tahap yang krusial dari perjalanan kita ini ada baiknya kita melakukan refleksi sejenak sebelum melangkah lebih lanjut. Mari kita menoleh ke belakang untuk mengingat kembali situasi yang kita hadapi beberapa waktu lalu, mencatat apa-apa yang kita lakukan untuk mengatasi keadaan itu dan selanjutnya menginventarisasi apa-apa yang masih perlu kita selesaikan dalam waktu dekat ini. Sesuai dengan tema buku ini, kita akan memfokuskan evaluasi perjalanan kita di bidang kebijakan fiskal. Keuangan Negara dan KrisisBeban Utang Meningkat. Ketika krisis mulai melanda Indonesia pada pertengahan 1997 kondisi keuangan negara kita sebenarnya tidak terlalu buruk. Pada tahun 1996 APBN (menurut cara pembukuan GFS yang sejak 2000 kita pakai) surplus sebesar 1,9% dari PDB, hutang Pemerintah dengan luar negeri adalah USD 55,3 milyar atau sekitar 24% dari PDB sedangkan hutang dalam negeri tidak ada. Realisasi APBN 1997 sampai dengan Semester I juga baik. Surplus anggaran setengah tahun itu mencapai 1,8% dari PDB dan hutang pemerintah tidak banyak berubah.Krisis mengubah itu semua. Defisit anggaran serta merta membengkak dan hutang Pemerintah meningkat tajam. Pada tahun 1998, tahun yang paling kelabu dalam krisis, Indonesia mengalami kombinasi dua penyakit ekonomi yang paling fatal: sektor riil yang macet dan hiperinflasi. Tahun itu PDB kita anjlok dengan sekitar 13%, inflasi mencapai sekiktar 78% dengan harga makanan meningkat lebih dari dua kali lipat, kurs melonjak-lonjak tak menentu dan serta merta anggaran negara berubah dari surplus menjadi defisit 1,7% dari PDB. Pada tahun 2000, sewaktu proses rekapitalisasi perbankan rampung, utang Pemerintah mencapai Rp 1.226,1 triliun (setara USD 60,8 miliar pada waktu itu) atau sekitar 96 % dari PDB. Melonjaknya beban utang ini hampir seluruhnya karena timbulnya utang dalam negeri dalam jumlah yang besar sebagai akibat dari upaya kita untuk menyelamatkan sektor perbankan yang berantakan dilanda krisis. Jumlah utang dalam negeri sebesar Rp 643 triliun itu merupakan akumulasi dari biaya yang timbul dari tiga kebijakan pokok untuk menopang perbankan nasional selama krisis. Ketiga kebijakan tersebut dilaksanakan secara hampir berurutan sejalan dengan tahap perkembangan krisis. Kebijakan BLBI. Kebijakan yang pertama adalah untuk mengatasi situasi darurat berupa kelangkaan likuiditas yang akut sebagai akibat dari arus dana keluar yang tidak terbendung dan makin membesar dari sistem perekonomian kita. Kelangkaan likuiditas ini diawali oleh timbulnya gonjang-ganjing di pasar devisa mulai pertengahan 1997 yang dipicu oleh krisis di Thailand. Pembelian dolar terjadi secara besar-besaran - dana rupiah nasabah bank ditarik untuk ditukarkan dolar. Bank-bank kehabisan rupiah. Proses penyedotan likuiditas ini makin diperparah oleh rentetan peristiwa yang terjadi setelah itu. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional runtuh terutama setelah penutupan 16 bank pada bulan November 1997. Uang lari dari bank nasional ke bank asing atau ke luar negeri. Kemudian mulai awal 1998 terjadi kenaikan harga yang luar biasa - hiperinflasi - yang diwarnai oleh gejala umum orang enggan memegang uang (rupiah) dan uang lari mengejar barang. Kegiatan ekonomi macet, PHK terjadi di mana-mana, kehidupan makin berat dan selanjutnya kerusuhan sosial meledak di berbagai daerah. Kali ini bukan hanya uang, tapi juga orang, lari ke luar negeri. Ini semua menimbulkan tekanan yang luar biasa terhadap perbankan nasional yang dapat dipastikan akan ambruk total apabila tidak ada dukungan likuiditas. Bank tidak dapat meminjam dari bank lain karena ia juga sama-sama kesulitan likuiditas. Pinjam dari luar negeri (seperti sebelum krisis) tidak mungkin karena kran-nya tertutup rapat. Satu-satunya sumber likuiditas yang ada dalam keadaan seperti itu adalah Bank Indonesia sebagai lender of last resort, suatu fungsi yang lazimnya ada pada setiap bank sentral untuk menghadapi keadaan darurat. Dukungan likuiditas dalam keadaan darurat ini dikenal sebagai Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kebijakan Penjaminan Bank. Kebijakan pokok yang kedua mulai dilaksanakan sekitar bulan Maret 1998, yaitu kebijakan penjaminan bank. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengatasi situasi perbankan kita yang sudah benar-benar kehilangan kepercayaan dari para nasabahnya. Banyak dari mereka menarik simpanannya di bank untuk dibelikan dolar atau barang (untuk menghindari kerugian karena kurs dolar dan harga-harga yang terus meningkat) atau dipindahkan ke bank asing (yang kemungkinan kecil ditutup) atau dibawa ke Singapura, Hong Kong atau tempat lain yang aman. Dalam keadaan seperti ini tidak ada bank yang “sehat” - bank yang dalam situasi normal sehat akan rontok juga. Menghadapi keadaan seperti itu Pemerintah pada waktu itu berkesimpulan bahwa satu-satunya jalan untuk menghentikan keruntuhan sektor perbankan adalah dengan memberikan jaminan penuh kepada nasabah dan kepada mereka yang bertransaksi dengan bank. Pemerintah menjamin bahwa uang mereka yang ada di bank aman apapun yang mungkin terjadi dengan bank itu. Dengan kebijakan penjaminan umum ini secara bertahap orang mulai berani lagi menyimpan uangnya di bank. Manfaat kebijakan ini juga terbukti pada waktu dilakukan serangkaian gelombang penutupan bank secara besar-besaran selama tahun 1998-99. Tidak seperti pada waktu penutupan 16 bank sebelumnya, kali ini tidak terjadi rush, masyarakat tidak menyerbu bank karena mereka tahu uang bahwa mereka tetap aman meskipun banknya ditutup. Kebijakan penjaminan bank ini merupakan sumber kedua dari timbulnya utang dalam negeri Pemerintah sebagai akibat krisis. Kebijakan Rekapitalisasi Bank. Sumber ketiga, dan yang terbesar, dari timbulnya utang dalam negeri adalah kebijakan rekapitalisasi perbankan. Setelah kita melewati masa kritis kesulitan likuiditas perbankan, dan setelah proses erosi kepercayaan terhadap bank dapat dihentikan, langkah selanjutnya adalah bagaimana membuat agar bank-bank yang tersisa setelah gelombang proses penutupan pada tahun 1998-99 dapat beroperasi secara normal. Banyak dari bank-bank yang dapat bertahan hidup setelah terlanda badai krisis masih setengah sakit dan belum dapat beroperasi sebagai layaknya bank yang sehat. Mereka dibebani kredit macet yang sangat besar dan modal yang terkuras. Bank-bank yang memiliki modal yang memadai dan relatif baik posisinya langsung diawasi oleh Bank Indonesia, sedangkan bank-bank yang neracanya sarat dengan kredit macet dan tidak mempunyai modal yang memadai harus melewati proses penyehatan khusus oleh BPPN, termasuk pembersihan neracanya dari kredit macet dan penambahan modal atau rekapitalisasi. Pulihnya kembali fungsi perbankan pada waktu itu dipandang sebagai prasyarat penting bagi pemulihan ekonomi dan oleh sebab itu proses penyehatan melalui program rekapitalisasi perbankan tidak boleh ditunda-tunda. Untuk mempercepat proses itu Pemerintah bertindak proaktif, termasuk menyediakan sebagian dari kebutuhan dana rekapitalisasi. Bank-bank diwajibkan memenuhi rasio kecukupan modal minimal (4% pada akhir tahun 1998) dan apabila ada kekurangan maka pemilik lama diminta menyetor paling tidak seperlimanya dan sisanya ditutup oleh Pemerintah dalam bentuk obligasi Pemerintah yang ditempatkan pada bank-bank tersebut. Kebijakan ini, yang memang sangat diperlukan agar perbankan nasional sesegera mungkin dapat berfungsi kembali untuk mendukung pemulihan ekonomi, telah meciptakan utang Pemerintah dalam jumlah yang sangat besar. Ternyata kekurangan modal yang terbesar adalah dari bank-bank milik Pemerintah sendiri! Dan seluruhnya harus disediakan oleh Pemerintah. Kebijakan Divestasi. Sebelum menutup pembahasan kita mengenai kebijakan rekapitalisasi perbankan ini perlu kita catat permasalahan penting yang timbul karena kebijakan tersebut yang perlu penanganan khusus. Kebijakan rekapitalisasi perbankan mempunyai dampak sampingan yaitu menyebabkan kepemilikan Pemerintah di seluruh sektor perbankan pada suatu saat pernah mencapai 95%. Jadi, dalam rangka “menormalisasi” sektor perbankan, telah terjadi penumpukan kepemilikan di tangan negara atau “nasionalisasi” perbankan. Ini jelas bukan situasi yang “normal” dan bukan pula situasi yang sehat. Dalam sistem ekonomi yang mengandalkan pada prakarsa dan kekuatan masyarakat dan dunia usaha Pemerintah seyogyanya membatasi kepemilikannya atas aset-aset produktif. Pengelolaannya sebaiknya diserahkan kepada masyarakat dan dunia usaha dan tugas pokok Pemerintah adalah merumuskan aturan-aturan main bagi mereka dan mengawasi agar aturan-aturan main itu dipatuhi sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Khusus untuk perbankan ada satu hal lagi yang harus masuk dalam pertimbangan, yaitu faktor risiko. Bank adalah suatu usaha yang penuh risiko yang lebih cocok bagi usaha swasta. Pengelolaan yang kurang baik, pengawasan yang kurang cermat, kelalaian dan keteledoran dapat menimbulkan kerugian besar dalam waktu sekejap. Karena risiko itu melekat pada kepemilikan, maka cara yang paling mudah untuk meminimumkan risiko tersebut adalah dengan menjual saham Pemerintah. Kebijakan divestasi ini harus merupakan bagian integral dari strategi penataan sektor perbankan nasional dan pelaksanaannya tidak boleh ditunda-tunda. Kasus pembobolan bank biasanya terjadi pada bank-bank milik Pemerintah seperti yang banyak terjadi di masa lampau dan juga baru-baru ini. Kerentanan bank-bank milik Pemerintah terhadap pembobolan dan penyalahgunaan menggarisbawahi urgensi dari kebijakan divestasi ini! Demikianlah, krisis telah minimbulkan beban utang dalam negeri yang besar dengan konsekuensi yang berat keuangan negara. Dari jumlah total hutang dalam negeri sebesar Rp 643 triliun tersebut yang terbesar (sekitar 2/3 nya) timbul karena kebijakan rekapitalisasi bank, sekitar seperempatnya berasal dari kebijakan BLBI dan sisanya dari kebijakan penjaminan bank

Tidak ada komentar:

Posting Komentar